Perjalanan
ini mendaki, mengejar kabut-kabut tipis di lereng utara Gunung Abang, dikepung
pemandangan surgawi, untuk menemui kenyataan pahit yang terbiarkan di sana
selama beberapa generasi. Gadis kecil itu bernama Novi...
“Umur
saya, sebelas tahun,“ katanya. Wajah berlepotan debu itu tersipu. Rambutnya
kemerahan sedikit. Kulitnya bersisik. Ia hanya setahun duduk di sekolah dasar.
Ayahnya, Nyoman Sitor, tidak tega membiarkan anaknya naik turun bukit setiap
hari untuk sekolah. Satu-satunya sekolah dasar terletak di pusat Desa Trunyan,
sekitar 3,5 kilometer dari dusun.
Novi
tidak sendiri. I Made Jepri lebih merelakan anak perempuan semata wayangnya
ikut sang ibu berjualan ke Denpasar daripada bersekolah. Ibu dan anak itu
pulang ke dusun lima minggu sekali.
Di
Dusun Banjar Madya, banyak anak tak selesai SD. Kebanyakan penduduk di dusun
berpenduduk 670 orang itu tidak bisa baca tulis. Bahkan, kelian (kepala dusun)
Banjar Madya, Nyoman Putra (23 tahun), hanya sampai kelas 3 SD meski bukan
berarti pendidikannya berhenti pada tingkat itu.
Dusun
Banjar Madya, Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, terletak di
ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut. Dibutuhkan sekitar tiga
jam perjalanan dengan mobil pribadi dari Kuta, ditambah 2,5 jam jalan kaki
menanjak ke arah puncak Gunung Abang yang berketinggian sekitar 2.153 meter.
Jarak
dari ujung jalan beraspal sampai ke bale banjar di dusun itu sekitar dua
kilometer, tetapi menanjak dengan kemiringan antara 20-60 derajat. Di bawah ada
bagian yang gembur tertutup tebu yang tebalnya semata kaki, berkubang di
sana-sini.
Perjalanan
ini dimanjakan gambaran sempurna tentang tanah air nan elok permai. Sulit
memilih kata untuk mendeskripsikannya ketika membaui wangi tanaman hutan dan
tanah lembab yang terinjak ketika mendengar suara serangga musim panas yang
gempita dan ketika kabut mendekat, memeluk tubuh, mengusir lelah, menyerap
keringat dan yang dibawa dari udara bersuhu 39 derajat Celcius dengan kelembapan
tinggi di bawah.
Kabut
berarak lagi ke ketinggian tertentu, seperti menunggu. Perjalanan mendaki
seperti menunggu. Perjalanan mendaki seperti perjalanan mengejar kabut .....
Di
balik keindahan
Seluruh
suasana itu dengan mudah meluputkan pemandangan sebenarnya tentang separuh Bali
yang lain: perbukitan gundul, pepohonan meranggas, ladang kosong, dan
pekarangan yang kerontang. Bau tinja manusia kerap mengambar ke diterbangkan
angin. Sampai hari ini, warga dusun tak kenal kamar mandi dan jamban.
“Kami
ingin punya kamar mandi dan jamban, tetapi di sini air susah sekali,” ujar
Wayan Putra. “Pada musim kemarau seperti ini, kami mandi dua-tiga hari sekali.”
Kenyataan
ini meruntuhkan gambaran tentang kemakmuran Bali etalasenya dipajang di Nusa
Dua, di Kuta, Sanur, dan pada 16 titik pengembangan wisata lainnya di pulau
seluas 5.632,86 kilometer persegi itu; tentang Bali yang berada di papan atas
dalam peta pariwisata dunia, dan tentang eksotismenya yang dipuja-puja.
Andai
tahu situasi nyata di perutnya, entah apakah bunyi, “Jangan mati sebelum
menginjak Bali,” masih digunakan; atau memang kenyataan itu tak berhubungan
dengan gambaran yang diciptakan untuk mimpi indah pada pendatang; atau lebih
parah lagi, jangan-jangan situasi itu justru menjadi bagian dari “eksotisme”
dan surga bagi peneliti.
Kabut
turun ketika kami tiba di depan Bale Banjar. Uap putihnya menerobos pepohonan.
“Kabut ini pertanda baik bagi kami,” kata Nyoman Darsana (25). Dilupakan.
Pada
setiap tamu yang datang, Wayan Putra selalu mengharapkan air untuk warganya.
Janji pemerintah, kata dia, hanya tinggal sebagai janji. Di dusun itu, sumber
air bersih bergantung pada air hujan. Sangat terbatas sehingga menipiskan
sumber kehidupan dan menyempitkan pilihan hidup.
Selama
musim penghujan, air ditampung di bak-bak tembok tertutup. Ada 16 bak di situ,
setiap bak digunakan 10 keluarga. Tetapi, seringkali cadangan air tak cukup
untuk melewati musim kemarau sehingga warga harus mencari air ke Danau Batur
dengan berjalan kaki selama tiga jam sekali jalan.
“Kami
ini warga Bali yang dilupakan,” kata Wayan putra dengan nada getir. ”Di Kuta
dan area-area wisata lainnya di Bali, air bersih berlimpah. Di sini untuk
mendapat air satu ember saja susah.”
Sayangnya,
bantuan yang datang bukan yang sangat dibutuhkan. Desa itu baru sekali mendapat
bantuan, Rp 8 juta, dari pemerintah kabupaten. Mungkin karena tak punya
pengalaman dengan bantuan, uang itu malah digunakan untuk memperbaiki balai
banjar dan jalan setapak menuju balai dan puri.
Status
sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT) membuat desa itu mendapat bantuan dari
Departemen Sosial, tahun 2005, berupa satu panel sel surya matahari yang
digunakan untuk menerangi pura dan balai. Bantuan lain berupa material,
termasuk seng untuk membangun rumah warga yang semula dari bambu, menjadi rumah
tembok.
“Pada
saat itulah, terjadi penebangan kayu besar-besaran di sini,” kata Wayan Cipta.
Departemen Sosial juga memberi bantuan pengh.auan bibit kayu jati, 35 batang
per KK, tetapi rata-rata yang hidup hanya dua pohon. “Bantuan itu salah musim
karena diberikan saat musim kemarau,“ sambung Wayan Cipta.
Pos
kesehatan baru ada lima bulan terakhir , biasanya dilayani seorang mantri
kesehatan, seminggu empat kali di Bale Banjar. Sebelumnya hanya pelayanan
puskesmas keliling sebulan sekali. Tetapi, gunanya tak banyak karena warga tak
bisa membayar ongkosnya, Rp 5.000 di pos kesehatan dan Rp 3.500 di puskesmas
keliling.
Meski
penghidupan sangat sulit, warga Dusun Banjar Madya tabu mengemis . “Malu,”
sergah Wayan Putra. Mereka memilih bekerja keras dengan hasil yang sangat tidak
memadai. Sebagian besar pekerjaan warga adalah bertani tadah hujan. Jika curah
hujan masih memadai, mereka dapat menanam bawang merah. Tetapi, biaya
produksinya tak kecil.
Panen
bagus menghasilkan sekitar 60 kilogram bawang per are tiap enam bulan dengan
penghasilan bersih tak lebih dari Rp 200.000. Mereka biasa berjalan kaki hingga
10 kilometer dengan beban 50 kilogram di punggung.
Pendapatan
itu dipakai untuk membeli beras sebagai pencampur makanan pokok dan kebutuhan
pokok lain. Makanan utama warga adalah singkong dan jagung. Jika uang habis,
warga mencari kayu bakar. “Satu pikul harganya Rp. 10.000, kami dapat setelah
jalan kaki memikul selama tiga jam,” kata Wayan Aryana (25 tahun).
Dengan
situasi seperti itu, cita-cita menguap dari kamus anak-anak. Tetapi, Novi tahu,
20 teman seumurnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kuta.....
Posting Komentar