Budaya Politik di Indonesia

Budaya politik (political culture) merupakan salah satu elemen penting dalam sistem politik, karena elemen ini mencerminkan faktor-faktor yang sifatnya subjektif dibandingkan dengan elemenelemen yang lain. Dalam hal ini, budaya politik lebih dimaksudkan sebagai keseluruhan pandangan politik, seperti nilai-nilai, pola-pola orientasi terhadap
politik, dan pandangan hidup manusia pada umumnya.

Dalam hubungannya dengan sistem politik, budaya politik dalam suatu masyarakat lebih mengutamakan dimensi psikologis, seperti sikap, sistem kepercayaan, ataupun simbol-simbol yang dimiliki dan diterapkan oleh individu-individu dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa budaya politik merupakan pola tingkah laku seseorang beserta orientasinya mengenai kehidupan politik dalam suatu sistem politik.

Budaya politik merupakan pendekatan yang cukup akhir di dalam ilmu politik. Pendekatan ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti Amerika Serikat, yaitu Gabriel A. Almond dan Sidney Verba.

Hasil penelitian tersebut dituangkan di dalam buku mereka yang berjudul Budaya Politik, yang merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5.000 responden yang tersebar di lima negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat.

Budaya politik merupakan perwujudan nilai-nilai politik yang dianut oleh sekelompok masyarakat, bangsa, atau negara yang diyakini sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas politik kenegaraan. Beberapa pendapat ahli tentang budaya politik adalah sebagai berikut :

1. Gabriel A. Almond dan Sidney Verba

Kedua ahli ini mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dengan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada dalam sistem itu (1963:13).

2. Rusadi Kantaprawira

Adapun Rusadi menyatakan bahwa budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik (1988: 25).

3. Samuel Beer

Menurut Samuel Beer, budaya politik adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaimana pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah (1967: 25).

4. Mochtar Masoed dan Collin MacAndrews

Masoed dan MacAndrews mengemukakan bahwa budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya (1986: 41).

5. Larry Diamond

Diamond menyatakan bawah budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik negeri mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem itu (2003: 207).

6. Almond dan Powell

Almond dan Powell mengungkapkan bahwa budaya politik adalah suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan keterampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola kecenderungankecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompokdalam masyarakat (1966: 23).

Keragaman menjagakeseimbangan kekuatanpolitik dan meningkatkanharapan bagi kebebasan,kemakmuran, dan hak-hak”.A.D. Benoist

Dari beberapa pengertianmengenai budaya politik di atas, makadapat diamati bahwa budaya politikmenunjuk pada orientasi dari tingkahlaku individu atau masyarakatterhadap sistem politik. Almond danVerba mengungkapkan bahwamasyarakat mengidentifikasikan dirimereka terhadap simbol-simbol danlembaga-lembaga kenegaraanberdasarkan orientasi yangdimilikinya.

Dengan adanya orientasitersebut, maka masyarakat memilikidan mempertanyakan tempat danperanan mereka dalam sistem politik. Hal ini selaras dengan salah satu makna daribudaya politik itu sendiri, yaitu orientasi masyarakat terhadap objek politik.Adapun yang dimaksud dengan objek politik adalah hal yang dijadikan sasarandari orientasi masyarakat. Objek politik yang dijadikan sasaran tersebut meliputi tiga hal sebagai berikut:

1.   Objek politik umum atau sistem politik secara keseluruhan, meliputi sejarah bangsa,simbol negara, wilayah negara, kekuasaan negara, konstitusi negara, lembagalembaganegara, pimpinan negara, dan hal lain dalam politik yang sifatnya umum.
2.   Objek politik input, yaitu lembaga atau pranata politik yang termasuk proses inputdalam sistem politik. Lembaga yang termasuk dalam kategori objek politik inputini, misalnya, partai politik, kelompok kepentingan, organisasi masyarakat, pers,dukungan, dan tuntutan.
3.   Objek politik output, yaitu lembaga atau pranata politik yang termasuk prosesoutput dalam sistem politik. Lembaga yang termasuk dalam kategori objek politikoutput ini, misalnya, birokrasi, lembaga peradilan, kebijakan, putusan, undang-undang,dan peraturan.

Lebih jauh lagi Almond dan Powell menyatakan bahwa orientasi seseorangterhadap sistem politik dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu orientasi kognitif, afektif,dan evaluatif (dalam Larry Diamond, 2003: 207).

1. Orientasi kognitif

Orientasi kognitif meliputi berbagai pengetahuan dan keyakinan tentang sistempolitik. Contoh yang berkaitan dengan aspek pengetahuan misalnya tingkatpengetahuan seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokohpemerintahan, kebijakan yang mereka ambil atau simbol-simbol yang dimiliki olehsistem politiknya secara keseluruhan seperti ibukota negara, lambang negara,kepala negara, batas negara, mata uang, dan lain-lain.

2. Orientasi afektif

Orientasi afektif menunjuk pada aspek perasaan atau ikatan emosionalseseorang terhadap sistem politik. Seseorang mungkin memiliki perasaan khususterhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuatnya menerimaatau menolak sistem politik itu secara keseluruhan. Dalam hal ini, sikap-sikapyang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan hidupseseorang umumnya cenderung berpengaruh terhadap pembentukan perasaanseseorang tersebut.

3. Orientasi evaluatif

Orientasi evaluatif berkaitan dengan penilaian moral seseorang terhadapsistem politik. Selain itu, orientasi ini juga menunjuk pada komitmen terhadapnilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik (dengan menggunakan informasidan perasaan) tentang kinerja sistem politik. Dalam hal ini, norma-norma yangdianut dan disepakati bersama menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadapsistem politik.

Perlu disadari bahwa dalam realitas kehidupan, ketiga komponen ini tidakterpilah-pilah tetapi saling terkait atau sekurang-kurangnya saling memengaruhi.Misalnya, seorang warga negara dalam melakukan penilaian terhadap seorangpemimpin, ia harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin.Pengetahuan itu tentu saja sudah dipengaruhi, diwarnai, atau dibentuk oleh perasaannyasendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tentang suatu simbol politik, dapat membentukatau mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu.

Wajah birokrasi dari suatu penyelenggaraan negara Indonesia akan tercermin padahasil produk yang berupa berikut ini:

1.   Adanya standar pelayanan terhadap publik atau masyarakat dalam rangkamerasionalisasi birokrasi akan dapat terwujudnya dengan adanya batasan danhubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenanganseluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.

2.   Terdapat sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak dan sesuai denganasas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dengan terpenuhinyapenyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan pengaturan dalam peraturanperundang-undangan dan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalammemperoleh penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada kepentingan umum

3.   Adanya kepastian hukum dalam kesamaan hak disamping keseimbangan hak dankewajiban meliputi keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidakdiskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, penyedian fasilitas dan perlakuan khususbagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.

Sebagai penjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik danpenanggungjawab adalah pimpinan lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintahnonkementerian, lembaga komisi negara atau yang sejenis, lembaga lainnya, gubernurpada tingkat provinsi, bupati pada tingkat kabupaten, dan walikota pada tingkat kota.

Budaya politik dalam kehidupan politik dan negara memerlukan sikap yang menunjukkan dukungan serta kesetiaan warganya kepada sistem politik dankepada negara yang ada. Sikap ini harus dilandasi oleh nilai-nilai yang telahberkembang dalam diri warga masyarakat itu, baik secara individual maupun kelompok.

Berdasarkan sikap, nilai, informasi, dan kecakapan politik yang dimiliki,Almond dan Verba menyatakan bahwa orientasi masyarakat terhadap budayapolitik dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu budaya politik parokial, kaula,dan partisipan (1963: 22).

a. Budaya politik parokial

Budaya politik parokial biasanya terdapat padasistem politik tradisional dan sederhana dengan cirikhas spesialisasi masih sangat kecil. Dengandemikian, pelaku-pelaku politik belum memilikipengkhususan tugas. Masyarakat dengan budayaparokial tidak mengharapkan apa pun dari sistempolitik termasuk melakukan perubahan-perubahan.Selain itu, di Indonesia, unsur-unsur budaya lokalmasih sangat melekat pada masyarakat tradisionalatau masyarakat pedalaman. Pranata, tata nilai, danunsur-unsur adat lebih banyak dipegang teguhdaripada persoalan pembagian peran politik.

Pemimpin adat atau kepala suku yang nota beneadalah pemimpin politik, dapat berfungsi pula sebagaipemimpin agama atau pemimpin sosial masyarakat bagi kepentingankepentinganekonomi.

b. Budaya politik kaula

Budaya politik kaula/subjekmemiliki frekuensi yang tinggiterhadap sistem politiknya.Namun, perhatian dan intensitasorientasi mereka terhadap aspekmasukan dan partisipasinyadalam aspek keluaran sangatrendah. Hal ini menunjukkanbahwa telah adanya otoritas daripemerintah. Posisi kaula/subjektidak ikut menentukan apa-apaterhadap perubahan politik. Masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalahsubjek yang tidak berdaya untuk memengaruhi atau mengubah sistem.

Dengan demikian, secara umum mereka menerima segala keputusandan kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalammasyarakat. Bahkan, rakyat memiliki keyakinan bahwa apa pun keputusan/kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubah-ubah atau dikoreksi,apalagi ditentang. Prinsip yang dipegang adalah mematuhi perintah, menerima,loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijakan penguasa.Latar belakang yang menyebabkan timbulnya sikap-sikap seperti iniadalah sebagai akibat dari proses kediktatoran/kolonialisme yangberkepanjangan.

c. Budaya politik partisipan

Biasanya, masyarakat yang memilikibudaya politik partisipan telah sadar bahwabetapapun kecilnya mereka dalam sistempolitik, mereka tetap memiliki arti bagiberlangsungnya sistem itu. Dalam budayapolitik partisipan, masyarakat tidak begitusaja menerima keputusan politik, karenadirinya merasa sebagai anggota aktifdalam kehidupan politik telah memiliki hakdan tanggung jawab. Partisipasi masyarakatdiarahkan kepada peranan pribadisebagai aktivis masyarakat, meskipunsebenarnya dimungkinkan bagi merekauntuk menerima atau menolaknya.

3 Model Budaya Politik

Masoed dan MacAndrews (1986: 42) menyatakan bahwaada tiga model budaya politik sebagai berikut:

a. Sistem demokratis industrial

Dalam sistem ini jumlahpartisipan mencapai 40-60%dari penduduk dewasa. Merekaterdiri atas para aktivis politikdan para peminat politik yangkritis mendiskusikan masalah-masalahkemasyarakatan danpemerintahan. Selain itu, mereka
adalah kelompok-kelompokpendesak yang mengusulkankebijakan-kebijakan baru untukmelindungi kepentingan khususmereka. Sementara itu, jumlahPara aktivis sosial seperti lembaga ISAC termasukpartisipan dalam sistem demokratis industrial.yang berbudaya politik subjek kurang lebih 30%, sedangkan parokial kira-kira10%.

b. Sistem politik otoriter

Dalam sistem ini sebagianbesar rakyat hanya menjadi subjekyang pasif. Mereka mengakuipemerintah dan tunduk padahukumnya, tetapi tidak melibatkandiri dalam urusan pemerintahan.Sebagian kecil rakyat lainnyaberbudaya politik partisipan danparokial. Kelompok partisipanberasal dari mahasiswa dan kaumintelektual, pengusaha, dan tuantanah. Mereka menentang danbahkan memprotes sistem politikyang ada. Sementara, kaum parokial yang sedikit sekali kontaknya terhadapsistem politik terdiri dari para petani dan buruh tani yang hidup dan bekerjadi perkebunan-perkebunan.

c. Sistem demokratis pra-industrial

Dalam sistem ini, sebagianbesar warga negaranya menganutbudaya politik parokial. Merekahidup di pedesaan dan buta huruf.Pengetahuan dan keterlibatanmereka dalam kehidupan politiksangat kecil. Sementara itu,kelompok partisipan sangat sedikitjumlahnya, biasanya berasal darikaum terpelajar, usahawan, dantuan tanah. Demikian pula proporsijumlah pendukung budaya politiksubjek juga relatif kecil.

Tahap / Perkembangan Budaya Politik di Indonesia

Sebelum era kemerdekaan hingga reformasi sekarang ini, kecenderunganbudaya politik yang terdapat di Indonesia adalah patrimonialisme. Dalam budayapolitik semacam ini, pola kekuasaan berjalan di atas prinsip relasi kuasa antarapenguasa sebagai pengayom, pelindung atau penjamin kesejahteraan, sertakeamanan dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi dan dijaminkenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya.

Oleh karena itu, bertolak dari budaya politik di Indonesia yang lebih mengarahpada nilai-nilai patrimonial, maka jenis sistem politik dan demokrasi yangberkembang pun adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial. Sistem politikjenis ini mengandaikan kondisi di mana para pemegang kebijakan mengeksploitasiposisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, bukankepentingan universal.

Contoh konkretnya adalah, pada era sebelum kemerdekaan, kerajaan-kerajaanJawa tradisional menggunakan legitimasi kekuasaannya atas dasarpatrimonialisme. Dalam hal ini, para penguasa Jawa memperoleh kesetiaan daripara pegawainya dengan memberi mereka hak atas penghasilan dari tanah yangbisa dieksploitasi secara komersial, tetapi tidak untuk dijual atau dimiliki.

Pola patrimonial ini mulai menyurut seiringberkurangnya kekuasaan raja-raja Jawa akibatmasuknya Belanda dan Jepang ke Indonesia. Padamasa itu legitimasi kekuasaan hampir mutlak ditangan Belanda dan Jepang, di mana legitimasitersebut diperoleh dengan cara-cara kekerasan(penjajahan). Oleh karenanya, budaya politikmasyarakat Indonesia pada waktu itu dapatdikatakan mengiyakan apa pun yang dikehendakituannya (Belanda dan Jepang). Melalui segala cara,para penjajah, khususnya Belanda, menerapkanbirokrasi rasional-legal terhadap masyarakatIndonesia.

Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang,pola budaya patrimonial muncul kembali diIndonesia. Hal ini lebih disebabkan karena polatersebut merupakan pola yang khas dan turun-menurun sejak zaman dulu,sehinggga sulit dihilangkan. Faktor yang lain adalah, dalam kekacauan ekonomitahun 1950-an (Orde Lama), birokrasi rasional-legal yang diwariskan oleh Belandaterbukti tidak mampu bertahan secara ekonomi.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pola pemerintahan patrimonialismemewujud dalam bentuk pemerintahan yang sentralistik dengan sejumlah sayapkelembagaan yang berfungsi sebagai “pengayom” bagi kepentingan masyarakat,namun dengan imbalan kekuasaan atau sumber daya material bagi para pemangkukekuasaan. Istilah “pamong praja” dalam sistem pemerintahan Orde Barumenggambarkan betapa pejabat diasumsikan memiliki fungsi kepengayomankepada masyarakat luas, namun fungsi tersebut tidak gratis.

Di sampingmenyerahkan loyalitas, masyarakat yang diayomi harus memberikan sejumlahimbalan tertentu sebagai balas budi mereka atas kenyamanan hidup yang sudahdinikmati mereka. Dari sinilah praktik pungutan (liar), pemerasan, percaloanpolitik, dan semacamnya menemukan akarnya, karena berbagai kenyamanan dankemudahan yang dinikmati oleh rakyat dikonstruksikan sebagai “tetesan rejeki”(trickle-down effect) dari atas, bukan karena hak yang melekat pada tiap-tiapindividu.

Pola patrimonialisme pada masa Orde Baru membentuk semacam piramidakekuasaan yang puncaknya dihuni oleh Soeharto sebagai patron tertinggi darirezim ini, yang di bawahnya ditopang oleh seluruh elemen politik di kantor birokrasi,sayap militer, organisasi sosial-kemasyarakatan dan partai politik. Pembangkanganterhadap sistem politik patrimonial Orde Baru merupakan bentuk resistensi yangakan dilawan oleh rezim penguasa dengan tekanan politik, pemangkasan hakserta peminggiran peran-peran sosial-politik yang seharusnya dinikmati olehsegenap warga negara.

Pada kenyataannya, sistem oposisi tidak diperkenankanpada masa ini, karena yang demikian ini bisa mengancam “zona kenyamanan”(comfort-zone) para penguasa beserta pihak-pihak yang turut menopangkeberlangsungan rezim Orde Baru. Sinergi elemen-elemen penopang tersebutmenjadi mesin politik yang bekerja secara efektif dan masif atas dasar praktikKKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), yang keberadaannya menjalar dari tingkatatas (pemerintah pusat) hingga ke dasar piradima kekuasaan (pemerintah provinsi,kabupaten, kecamatan dan desa), dengan bantuan perangkat birokrasi, militer,hingga tokoh masyarakat dan agama.

Pada masa setelah Orde Baru, yaitu era Reformasi, watak dasar politikpatrimonial tetap berlangsung, namun dengan format dan baju yang berbeda.Patrimonialisme mengalami metamorfosis menjadi “neo-patrimonialisme,” yangditandai dengan menyebarnya simpul-simpul kekuasaan ke sejumlah titik yanglebih merata seiring dengan perubahan kebijakan desentralisasi politik. Seolahingin menikmati kenyamanan ala penguasa Orde Baru, para penguasa lokalmemerankan diri sebagai patron bagi komunitas yang dipimpinnya dengan imbalanloyalitas politik dan atau sumber daya ekonomi. Pemeran politik patrimonial bukanlagi terpusat pada individu, tetapi lembaga sosial politik, terutama partai politik(parpol). Slogan-slogan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dibuat untukmengagregasi dukungan politik untuk memenangi proses kontestasi dalam Pemilu,tetapi individu atau parpol seringkali mengingkarinya setelah yang pertama naikke tampuk kekuasaan.

Menurut Rusadi (1988: 37 - 39), budaya politik Indonesia hingga dewasa inibelum banyak mengalami perubahan/pergeseran dan perpindahan yang berarti.Walaupun sistem politiknya sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjaudari pelembagaan formal. Misalnya, sistem politik demokrasi liberal ke sistempolitik demokrasi terpimpin dan ke sistem politik demokrasi Pancasila. Budayapolitik yang berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan. Hal inidikarenakan upaya ke arah stabilitas politik tidak perlu tergesa-gesa agar diperolehkeseimbangan dan mengurangi konflik seminimal mungkin.

Karakteristik / Ciri-ciri Budaya Politik Indonesia

Bertolak dari pemaparan sejarah pola budaya politik masyarakat Indonesiadi atas, Afan Gaffar (2002: 106) merumuskan bahwa ada tiga ciri dominan yangterdapat pada budaya politik Indonesia, yaitu sebagai berikut:

a. Hirarki yang tegar/ketat

Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia padadasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dariadanya pemilahan yang tegas antara penguasa dengan rakyat biasa. Keduastrata tersebut terpisah oleh tatanan hirarkis yang sangat ketat.Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antaralain terlihat pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya. Penguasacenderung menganggap dirinya sebagai pengayom yang baik hati. Sebaliknyarakyat dianggap sebagai pihak yang rendah derajatnya.Implikasi negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik.Penguasa atau pemerintah adalah pihak yang berhak merumuskan danmenentukan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung tidak diajakberdialog dan kurang didengar apresiasinya.

b. Kecenderungan patronage

Pola hubungan patronage merupakan salah satu budaya politik yangmenonjol di Indonesia. Hubungan semacam ini oleh James Scott disebutsebagai pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini sifatnya individual.Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal-balikdengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Pihakpatron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan, dan materi,sedangkan pihak client memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan, dankesetiaan.

Pola hubungan semacam ini akan tetap terjaga selama kedua belah pihakmemiliki sumber daya tersebut. Kalau tidak demikian, masing-masing pihakakan mencari pihak lain yang akan dijadikan entah sebagai patron ataupunsebagai client. Meski demikian, karena pada umumnya pihak patron memilikisumber daya yang lebih besar dan kuat, pola hubungan semacam ini cenderunglebih menguntungkan pihak patron.

c. Kecenderungan neo-patrimonialistik

Salah satu kecenderungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalahadanya kecenderungan munculnya budaya politik yang bersifat neopatrimonialistik,artinya, meskipun memiliki atribut yang bersifat modern danrasionalistik seperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisidan budaya politik yang berkarakter patrimonial.

Posting Komentar

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget